REPUBLIKA.CO.ID, SRINAGAR -- Kota utama Kashmir, Srinagar, seolah menjadi labirin kawat berduri dan barikade baja. Sementara itu, drone dan helikopter terbang memantau wilayah ini dari udara.
Hingga Selasa (13/8), warga Kashmir menderita kekurangan sejumlah kebutuhan pokok. Pengamanan ketat telah membuat warga tetap tinggal dalam rumah hingga memasuki hari kesembilan sejak 4 Agustus lalu. Kondisi ini diperkirakan akan berlangsung hingga Kamis (15/8) saat perayaan kemerdekaan ke-72 India.
Pada Selasa, personel paramiliter India tampak terus berjaga dalam kondisi siaga. Mereka berada di pos-pos pemeriksaan serta barikade yang dipasang di jalan, jalur lalu lintas, dan perempatan yang tersebar di Srinagar. Mereka terlihat memakai jaket pelindung dan perlengkapan antihuru-hara sambil membawa senjata otomatis maupun senapan.
Populasi Kashmir India yang berjumlah 4 juta memang terbiasa dengan blokade. Namun, baru kali ini mereka merasakan bahwa langkah yang diambil Pemerintah India merupakan hal mengejutkan.
Labirin barikade di Srinagar memiliki sejumlah pos keluar dan masuk yang fungsinya bergantian. Tak heran warga Srinagar merasa kebingungan di tengah kota mereka sendiri. Mereka harus mengingat-ingat peta jalan yang bisa dilewati karena alurnya kerap berubah-ubah.
"Ini keterlaluan, terlalu ekspansif," kata seorang warga, Zameer Ahmed, saat ia hendak melewati jalur yang dipagari kawat berduri. "Seluruh Kota Srinagar seperti dianyam oleh kawat berduri untuk membuat kami diam dan patuh," katanya.
Di pos-pos pemeriksaan yang tersebar di Srinagar, polisi mengarahkan pejalan untuk melewati jalur tertentu. Pos keluar dan pos masuk berubah beberapa kali setiap harinya.
Seorang teknisi, Mohammed Maqbool, terhenyak akan sistem blokade di Srinagar. Menurut dia, penjagaan kali ini paling rumit yang pernah ia saksikan dalam 30 tahun terakhir di Srinagar.
"Kali ini mereka memberlakukan blokade paling cerdik yang pernah ada," katanya. "Mereka (paramiliter India--Red) tidak seagresif dalam perlawanan pada 2016. Jika terpaksa, mereka mengizinkan kita keluar rumah sejenak. Namun, mereka telah membungkam suara kami dengan blokade yang demikian canggih," kata Maqbool.
Kawat berduri mengiris-iris kota, membuat orang tak berkeinginan untuk berkumpul. Sejumlah jalan dihalangi oleh kendaraan lapis baja atau bus. Karena kerumitan alur lalu lintas satu arah, mustahil bisa melewati jalan yang sama dan pulang ke rumah dari jalur biasa meskipun jaraknya amat dekat.
"Mereka mengganti peta jalan kami, membuat kami seperti orang asing di wilayah kami sendiri," kata Bashir Ahed, warga Srinagar.
"Ini latihan kedisiplinan dan mengatur pergerakan warga. Tujuannya adalah secara psikologis memecah warga dan mengajari mereka bahwa mereka tidak lagi berkuasa atas diri mereka sendiri," kata Saiba Varma dari University of California, San Diego, yang berada di Srinagar untuk melakukan riset pascadoktoral di bidang antropologi medis.
"Di Palestina, mereka (Israel) memblokade makanan dan obat-obatan. Namun, di sini berbeda. Mereka (India) membiarkan warga makan, tetapi mereka mengendalikan tubuh, pikiran, dan semangat warga Kashmir," katanya.
Pihak berwenang menolak untuk menjelaskan perincian posisi pos pemeriksaan atau metode baru yang diterapkan untuk blokade terakhir. Sementara itu, pejabat Pemerintah India terus mengatakan bahwa situasi telah kembali normal.
Pada 5 Agustus, pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi yang berhaluan nasionalis Hindu mencabut status istimewa Negara Bagian Jammu dan Kashmir. Keesokan harinya, ia melangkah lebih jauh dengan mencabut status negara bagian tersebut serta memecah Jammu dan Kashmir menjadi dua wilayah berstaus union territory.
Kashmir diperebutkan India dan Pakistan sejak kemerdekaan 1947. Mediasi PBB membagi dua pertiga Kashmir untuk diperintah India, sedamglam sepertiga bagian masuk wilayah Pakistan. Sejak 1989 sekitar 70 ribu orang tewas dalam konflik Kashmir.
Seruan HRW
Organisasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) menyerukan India agar memulihkan akses komunikasi di wilayah Kashmir. Sepekan setelah India mencabut status istimewa Kashmir, warga di sana masih terisolasi.
“Orang-orang Kashmir sebagian besar masih terkunci. Para pemimpin mereka ditahan. Telepon, bahkan jalur darat, masih terputus. Internet ditutup. Masjid utama mereka tetap tertutup bagi Muslim Kashmir selama Idul Adha,” kata Direktur HRW Asia Selatan Meenakshi Ganguly pada Senin (12/8), dikutip Anadolu Agency.
Dia pun mengomentari adanya aksi penangkapan oleh otoritas India terhadap sejumlah warga dan politisi di Kashmir. “Ada laporan yang belum dikonfirmasi tentang berbagai penangkapan yang sedang berlangsung, termasuk aktivis,” ujarnya.
Menurut dia, otoritas India harus segera membebaskan tahanan politik, mengakhiri pemutusan akses komunikasi, dan memungkinkan akses yang tepat kepada media serta pengamat independen ke Kashmir. Hal itu perlu dilakukan untuk memulihkan situasi di sana.
Ganguly pun menyerukan India agar segera menarik pasukannya dari Kashmir. Dia mengatakan, gerakan separatis yang didukung Pakistan di Jammu dan Kashmir telah merenggut lebih dari 50 ribu jiwa sejak meletus pada akhir 1980-an. “Respons pasukan keamanan (India) meliputi pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan. Lebih banyak pelanggaran HAM jelas bukan apa yang diinginkan kebutuhan regional,” ucapnya. n kamran dikarma/reuters/ap, ed: yeyen rostiyani
https://ift.tt/2MWFT65
August 14, 2019 at 07:25AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kashmir Jadi Labirin Kawat Berduri"
Post a Comment