Search

Memperbaiki Nasib Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Pertumbuhan ekonomi Indonesia perlu stabil di angka minimal 6,5 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Presiden Joko Widodo jilid I hanya mampu menumbuhkan ekonomi rata-rata sebesar 5 persen per tahun. Sampai Jokowi turun tahta di periode pertamanya, target pertumbuhan 8 persen gagal diraih.

Padahal pertumbuhan ekonomi berimplikasi terhadap banyak hal di Republik ini, seperti penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan.

Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faishal Hastiadi mengakui pemerintah perlu usaha keras jika ingin menumbuhkan ekonomi di atas lima persen. Tanpa kegigihan usaha, Indonesia bakal terjebak dalam middle income trap.

Berdasarkan kalkulasinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia perlu stabil di angka minimal 6,5 persen hingga 2030 jika ingin menjadi negara maju. Peningkatan ekspor dan investasi menjadi variabel utama dalam upaya pemerintah menumbuhkan ekonomi.

Untuk sektor ekspor, dibutuhkan pertumbuhan minimal 9,8 persen per tahun. Sedangkan suntikan dana investasi yang diperlukan mencapai Rp 4.000 triliun hingga 2024. Jika dapat dipenuhi, maka pertumbuhan ekonomi bisa dijaga di angka kisaran 6 persen.

"Kalau hilang momentum itu atau tak bisa mencapainya maka Indonesia akan terus berada di middle income trap," katanya pada Republika.co.id, baru-baru ini.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Januari-September 2019 mencapai 124,17 miliar dolar AS. Angka ini turun 8 persen dibanding periode sama tahun lalu. Adapun nilai impor selama Januari-September 2019 turun dibanding periode sama tahun sebelumnya, masing-masing 8,77 persen; 10,22 persen; dan 4,13 persen.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mendata total investasi pada Januari-Maret 2019 mencapai Rp 195,1 triliun. Angka ini naik 5,3 persen dibanding periode sama tahun lalu. Rinciannya, Rp 87,2 triliun merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Rp 107,9 triliun Penanaman Modal Asing (PMA).

Negara penyumbang PMA terbesar yaitu Singapura (24 persen), China (16,1 persen), Jepang (15,8 persen), Malaysia (9,8 persen) dan Hong Kong (8,1 persen).

Faisal menyebut Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) merupakan garda terdepan demi mencapai target peningkatan ekspor. Ia menyarankan Kemendag terus membuka pangsa pasar baru demi meningkatkan ekspor bersamaan dengan penguatan kapasitas produksi domestik demi menunjang kuantitas ekspor itu.

Strategi jangka menengah


Untuk strategi jangka menengah-panjang, Kemendag perlu menguatkan kerja sama internasional di tingkat regional dan non traditional partner seperti di Afrika dan Amerika Latin.

Sedangkan Kemenperin punya pekerjaan rumah untuk membangkitkan sektor industri. Ia menyayangkan kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya mencapai 19,86 persen pada 2018. Padahal pada 2001, ia menaksir kontribusi sektor industri pernah mencapai 29 persen.

Sepanjang 2018, sektor industri hanya tumbuh 4,25 persen. Jumlah itu lebih kecil dari pertumbuhan sektor perdagangan (4,39 persen) dan sektor konstruksi (5,58 persen). Pertumbuhan terbesar jatuh pada sektor jasa lainnya (9,08 persen).

"Nah ini semua butuh kerja keras kementerian terkait untuk bisa mendongkrak kekurangan-kekurangannya," sebutnya.

Atas gambaran di atas, pemerintahan Jokowi jilid I dianggap belum mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara maksimal. Ditambah lagi kondisi ekonomi pada 2014 dan 2019 diklaim tak banyak mengalami perubahan.

Meski begitu, pemerintah tetap optimis menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen melalui asumsi makro APBN 2020. Walau IMF dan Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5,1 persen.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) periode 2014-2019 Arif Budimanta mengingatkan pemerintah agar terus memperkuat ekonomi dalam negeri. Caranya dengan meningkatkan kapasitas produksi pelaku usaha, khususnya UMKM lewat pemerataan ekonomi.

Pemerintah, kata dia, perlu memberi koridor lebar terhadap akses pembiayaan pada pelaku bisnis. "Kapasitas produksi harus diarahkan 70 persen untuk penuhi kebutuhan dalam negeri, subsitusi impor terutama bidang pangan dan energi," ujarnya.

Kemudian, ia merasa pemerintah perlu mengutamakan penghasilan devisa dari basis komoditas, nilai tambah dan pariwisata. Hingga akhir September 2019, cadangan devisa berada di 124,3 miliar dolar AS atau turun sebesar 2,1 miliar dolar AS dibanding bulan sebelumnya. Posisi ini setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

"Ke depannya ini yang jadi fokus agar kita bisa tumbuh lebih tinggi dengan cara pemerataan ekonomi. Jadi pemerataan untuk pertumbuhan ekonomi," tuturnya.

Di sisi lain, pengaruh luar negeri ternyata dianggap tak begitu besar dalam jangka pendek pada Indonesia. Faisal mengkalkulasi pengaruh luar negeri hanya bertahan 2-3 bulan.

Gejolak dalam negeri


Sedangkan gejolak dalam negeri bisa mempengaruhi sampai 7 bulan. Solusi atas pengaruh luar negeri ialah penguatan kewilayahan. Hal ini pula yang menurutnya bisa menyelamatkan Indonesia dari krisis 2008.

"Peran luar negeri masih kecil, tapi tetap harus waspada untuk dampaknya secara jangka panjang dan menengah pasti ada," ungkapnya.

Begitu pun Arif yang menganggap pengaruh luar negeri trennya melemah untuk sementara ini. Sehingga ia merasa pemerintah Indonesia tak perlu begitu khawatir. Apalagi dampak gejolak internasional seperti dari perang dagang AS-China juga dirasakan negara lain.

Hanya saja, dalam kondisi seperti itu ternyata masih ada negara yang bisa mendongkrak pertumbuhan ekonominya. Menurutnya, Indonesia perlu meniru langkah-langkah yang dilakukan negara seperti India yang mampu tumbuh 6-7 persen saat krisis internasional.

"Kita jangan lihat gejolak luar negeri sebagai threat, justru dalam negeri yang harus diperkuat, sehingga apapun terjadi di luar enggak begitu ngaruh. Itulah dilakukan Donald Trump yaitu perkuat kapasitas produksi nasional," jelasnya.

Arif optimistis ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh hingga 7-8 persen di masa pemerintahan Jokowi jilid II. Namun syaratnya, pemerintah mesti melakukan kerja keras untuk mendongkrak berbagai sektor. Jika urung dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi diprediksi stagnan di kisaran angka 5 persen.

"Kalau hanya mau business as usual ya 5-5,5 persen, tapi kalau extra effort dengan kerja sistematis, holistik, peningkatan kapsitas produksi, masukan inovasi, maka bisa tumbuh 7-8 persen," ucapnya.

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2WfEWIt

October 26, 2019 at 08:20AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Memperbaiki Nasib Pertumbuhan Ekonomi Nasional"

Post a Comment

Powered by Blogger.