REPUBLIKA.CO.ID, oleh M Nasir Djamil, Anggota DPR RI 2019-2024
Dinamika politik nasional menjelang pelantikan Jokowi dan Kyai Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, tampaknya menarik dicermati. Terlebih lagi, merapatnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Prabowo Subianto ke Istana Merdeka, membuat publik yakin bahwa kegaduhan politik di parlemen seperti periode pertama Jokowi sebagai Presiden tahun 2014, akan meredup.
Sebagai, anggota Fraksi PKS di DPR, belakangan ini saya sering dicecar pertanyaan oleh para kuli tinta. Pertanyaan mereka hampir sama, apakah PKS akan masuk ke barisan Jokowi-Ma'ruf, atau tetap menjadi “outsider"? Meskipun Presiden PKS Sohibul Iman sudah menyatakan bahwa jangan pertentangkan oposisi dan rekonsiliasi, tetap saja para wartawan masih penasaran soal “keukeuh"nya partai tarbiyah ini untuk tidak menjadi “insider" dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
Adalah benar bahwa sistem politik di Indonesia tidak mengenal oposisi struktural yang terlembagakan lazimnya sistem parlementer. Namun demikian, istilah oposisi yang fungsional mulai dibicarakan lagi saat SBY menjadi presiden. Selama 10 tahun Pemerintahan SBY berlangsung, Megawati dan PDI Perjuangan menahan diri bergabung dalam pemerintahan saat itu dan selalu bersikap kritis terhadap setiap kebijakan SBY yang merupakan bentuk oposisi fungsional. Bisa jadi karena merasa "dikhianati" SBY, Megawati menyatakan berada di luar. Tapi 10 tahun berbuah manis untuk Megawati dan PDI Perjuangan. Partai berlambang banteng itu meraih suara pertama di Pileg 2014 dan 2019. Bisa jadi faktor Jokowi, yang membuat PDIP menjadi pemuncak dalam liga nasional politik Indonesia dua periode berturut-turut.
Bagi PKS sendiri, jika lima tahun mendatang tetap di luar pemerintahan, maka ini akan menyamai rekor yang dipegang oleh PDIP. Pertanyaannya apakah PKS di Pileg tahun 2024 akan menyamai PDIP pada 2014 silam? Tidak mudah dibandingkan, karena banyak variabel pembanding yang berbeda. Namun demikian, menjadi di luar (outsider) pemerintahan adalah pilihan politik yang elegan meskipun berat.
Tradisi Berdemokrasi
Sejatinya, oposisi adalah tradisi baik demokrasi. Walau setiap negara akan berbeda model dan cara penerapannya, namun fungsi utama badan perwakilan/parlemen sebagai pengawas pemerintahan, membuat peran “oposisi” menjadi amat penting dan krusial. Sampai-sampai International Commission of Jurist tahun 1965 menyebut salah satu syarat pemerintahan demokratis dalam negara hukum (representative government under the rule of law) adalah adanya tugas oposisi.
Inggris dengan sistem parlementernya, menempatkan oposisi secara struktural sebagai kelompok yang ada di seberang kabinet untuk membentuk kabinet bayangan (shadow cabinet), dimana terdapat menteri bayangan yang akan “membayangi” dan “mengkritisi” menteri yang berkuasa. Dengan dilekatkan “mosi tidak percaya” dalam sistem parlementer, maka oposisi harus menyiapkan diri sewaktu-waktu untuk dapat menggantikan partai berkuasa (Hidayat, 1994). Di Amerika Serikat yang menganut sistem presidensil dengan dwi partai (karena dua partai besar yang berkuasa), membuat partai yang gagal mengantarkan kadernya menjadi presiden, akan berperan menjadi oposisi yang mengkritik setiap kebijakan presiden terpilih. Berbeda dengan sistem parlementer yang mengenal mosi tidak percaya sehingga terdapat model yang saling berhadapan (adversarial), ekslusif dan kompetitif antara pemerintah dan oposisi, sistem presidensil yang menetapkan masa jabatan presiden tetap (fix) membuat model oposisi lebih inklusif dalam bentuk tawar menawar kebijakan dengan penguasa (Lijphart, 1999), sehingga lebih terlihat sebagai oposisi fungsional.
Pengalaman dua negara kiblat demokrasi tersebut menunjukkan bahwa peran oposisi dalam penyelenggaraan pemerintahan amatlah krusial. Oposisi dapat memberikan “gizi” bagi pemerintahan dalam bentuk checks and balances terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan. Sebagai upaya pelembagaan oposisi, di Inggris dan Kanada, ketua partai oposisi digaji oleh pemerintah sebagai bentuk penghormatan (Iskandar, 2010). Sementara di Amerika, penghormatan terhadap partai oposisi untuk tidak diserang secara “membabi-buta” apalagi “dikriminalisasi” karena kritik-kritiknya adalah salah satu konvensi (kebiasaan) ketatanegaraan yang harus dilakukan sebagai bagian integral norma politik dalam menciptakan pemerintahan yang demokratis (Siegel 2018).
Kebaikan Bangsa
Tak dapat dipungkiri, reposisi sebagian besar barisan “02” ke barisan “01” menimbulkan banyak syak wasangka. Satu sisi, upaya Presiden Jokowi merangkul barisan “02” adalah bagian untuk memperkuat pemerintahannya di periode keduanya, sehingga ancaman dan hambatan yang “mungkin” terjadi karena adanya oposisi dapat diminimalisir sedini mungkin. Berbekal pengalaman 2014 dimana terjadi perseteruan KMP dan KIH, mungkin Presiden Jokowi telah banyak belajar untuk tidak boleh terlalu lamban merangkul barisan lawan, karena sangat mungkin menggangu ritme kerjanya. Ditambah teori dan praktek negara-negara Amerika Latin yang menerapkan sistem presidensil bersandingan dengan sistem multipartai, acapkali gagal mewujudkan pemerintahan yang efektif akibat tidak dapat menguasai parlemen (Cheibub, 2004). Karenanya jalan membentuk koalisi adalah jalan taktis dan logis mengamankan pemerintahan (Isra, 2010).
Namun disisi lain, upaya merangkul sebagian besar oposisi mendapat perlawanan yang tak kalah hebatnya dari barisan koalisi Presiden Jokowi. Partai Nasdem dan PKB adalah dua partai yang cukup keras mengemukakan penolakan dengan alasan “klise” tidak adanya checks and balances nantinya jika tidak ada oposisi yang mumpuni khususnya dari kuantitas kursi di DPR. Berbeda dengan keduanya, PDIP sebagai “the ruling party" dan penyokong utama Jokowi justru menerima dengan tangan yang terbuka potensi bergabungnya barisan oposisi. Menarik dicermati. Tentu ada alasan kuat mendasarinya. Mulai dari mengurangi pengaruh kuat kelompok-kelompok tertentu terhadap Presiden Jokowi ataupun karena adanya agenda Amandemen UUD 1945 yang memerlukan dukungan bersama.
Mencermati reposisi tersebut, maka sejatinya pergeseran bahkan perpindahan barisan koalisi dan oposisi adalah suatu hal yang normal dan wajar. Karena demikianlah sifat alami partai politik dalam sistem presidensil dengan kombinasi sistem multi partai. Ia lebih cair dalam bentuk tawar menawar politik. Apalagi pengalaman panjang pemerintahan di Indonesia yang terjadi khususnya paska reformasi, reposisi partai politik adalah suatu hal yang biasa, sehingga tidak perlu syak wasangka berlebihan. Yang perlu diperhatikan adalah memberikan ruang kontrol publik, sehingga hal-hal negatif dalam reposisi koalisi tersebut masih dalam koridor untuk kepentingan rakyat.
Selain itu, penting juga memberikan penghormatan bagi partai maupun kelompok masyarakat yang bersikap sebagai oposisi. Seperti pengamat politik Rocky Gerung yang telah mendeklarasikan sikap oposisinya kepada Prabowo karena telah bergabung dalam barisan partai-partai pemerintah. Kalau terhadap Jokowi, sudah lama Rocky berseberangan. Penghormatan kepada kelompok dan personal ini, tidak hanya sebatas sikap, melainkan juga dalam bentuk dukungan sarana-prasana agar dapat menghasilkan pengawasan yang berkualitas termasuk juga tidak melakukan tindakan “kriminalisasi” yang “dicari-cari” hanya sekedar melemahkan oposisi. Dengan demikian, gizi demokrasi tetap ada, karena oposisi yang dilakukan tidak hanya sekedar berbeda apalagi menentang, sebagaimana pesan Nurcholis Madjid, oposisi tidak berarti hanya to oppose (menentang) saja, melainkan juga terkandung to support (mendukung), karena oposisi adalah semangat loyal kepada negara dan loyal pada cita-cita bersama (Madjid, 1999). Maka, oposisi fungsional yang diwakili oleh kekuatan politik dan sekumpulan orang politik diharapkan hadir untuk meluruskan pemerintahan yang melenceng dari mandat konstitusi, bukan hanya sekedar mencari sensasional semata.
https://ift.tt/2BkmFA4
October 17, 2019 at 07:02AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Oposisi Fungsional bukan Sensasional"
Post a Comment