Oleh: Teguh Setiawan, Jurnalis Senior.
Pada paruh pertama abad ke-17, sekumpulan pribumi menyewa lahan ke VOC dan mengubahnya menjadi perkebunan manggis. Ketika VOC memetakan kembali bidang tanah itu untuk dijual kepada investor, landmetter memberi nama Pemanggisan.
Nama particuliere landerijen itu sempat berubah menjadi Rawa Kemanggisan pada 1865, atau saat disewa Tarbien cs untuk budi daya rumput. Tahun 1912, Hindia-Belanda menggunakan nama Pemanggisan untuk bidang tanah yang dikelola N. V. Maatschappij Eurazie I.
Namun kini tidak ada lagi perkebunan manggis. Sekujur tanah di sana kemudian ditanami kelapa, palawija, dan padi. Sebagian disewakan ke penggarap. Kini, kita mengenal landeijen itu sebagai Kelurahan Kemanggisan.
Dan tatkala sembari iseng saya baca daftar pemilik tanah partikelir (particuliere landerijen) semacam Kemanggisan itu ada yang membuat saya trenyuh. Apa pasal? Ya sebab selaku keturunan Betawi tak ada nama nenek moyang saya. Nah, apa saya sedih? Ternyata nggak juga. sebab nenek moyangku orang pelaut, nggak mungkin punya tanah partikelir. Ya begitu kan ha ha ha?
Kemudian dalam soal lain yakni masalah penataan wilayah Jakarta, seperti halnya kota-kota lama Belanda di Indonesia lainnya, terutama peninggalan VOC, memang tidak mengenal sedikit ruang di antara bangunan pertokoan atau apa pun dan jalan. Artinya, bangunan dan jalan menyatu. Pedagang kecil tak punya ruang berjualan, dan memilih bawah pohon sebagai tempat mangkal agar terhindar dari sengatan matahari dan kemungkinan dilanggar kereta kuda.
Suana ini juga terjadi di kawasan Malioboro di Yogyakarta. Tempat para pedagang suvenir yang berada di sepanjang jalan itu dahulunya memang tak ada. Lorong kaki lima itu dibangun pada tahun 1970-an. Ini atas saran arsitek lulusan Jerman yang juga menjadi pastur, yakni YB Mangun Wijaya (Romo Mangun). Caranya adalah dengan memundurkan toko dan membiarkannya bagian depan menjadi semacam lorong sepertti sekarang.
Memang, sebelumnya pada waktu zaman Daendels, yang datang ke Hindia Belanda sebagai wakil Prancis, dia memperkenalkan istilah 'trotoir' -- kata dalam Bahasa Prancis yang berarti tepi jalan. Trotoir (di Indonesia istilahnya berubah menjadi trotoar) berfungsi sebagai area pejalan kaki, dan dibuat lebih tinggi dari badan jalan.
Pedagang meninggalkan bawah pohon dan menginvasi trotoir agar lebih dekat dengan calon pembeli yang lalu-lalang. Akibatnya, trotoir dipadati pedagang dan pejalan kaki turun ke bahu jalan.
Nah, saat Gubernur Jendral asal Inggris Raffles datang, sekitar 1807, dia memperkenalkan istilah five foot way, atau jalan selebar lima kaki (kira-kira 1,7 meter) yang menyatu dengan deretan toko dan perkantoran. Bila 'five way' diterjemahkan dengan istilah lain yang bebas adalah semacam koridor selebar lima kaki di sepanjang pertokoan.
Mengapa disebut koridor? Ini karena 'five foot way' memiliki atap yang menyatu dengan atap pertokoan. Pedagang melihat five foot way sebagai tempat paling nyaman untuk berdagang, dan mereka menginvasi. Di bawah five foot yang mewah itu, pedagang terhindar dari sengatan matahari, guyuran hujan, serta dekat dengan calon pembeli yang lalu lalang.
Para pedagang di five foot way disebut five foot traders, yang artinya pedagang kaki lima.Terjemahan yang salah, tapi diterima sejarah. Sebab terjemahan sebenarnya five foot trader adalah pedagang lima kaki. Alasannya, bukahkah pedagang itu berjualan di area lima kaki.
Ya sudahlah kita terima saja istilah pedagang kaki lima. Yang pasti, kini istilah pedagang kaki lima digunakan untuk menyebut penjual yang menjajakan barangnya di mana saja, tidak melulu di koridor lima kaki.
https://ift.tt/2ZTstL8
June 28, 2019 at 08:29AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Dari Kemanggisan, Daendels, Raffles, Hingga Kaki Lima"
Post a Comment