REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Harga ayam peternak dan yang dijual di pasar memiliki selisih yang jauh. Mulai Rp 17 ribu sampai Rp 20 ribu. Jumlah tersebut dinilai sangat tidak wajar, karena ada pihak tak bertanggung jawab yang ‘bermain’ di tengah penderitaan para peternak.
Hal itu diutarakan ekonom dari Konstitusi Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Defiyan Cori dalam keterangannya kepada Republika pada Jumat (28/6).
Polemik harga daging ayam di sejumlah pasar tradisional ini terjadi setelah pada Februari terjadi penurunan harga. Dalam permasalahan ini, banyak pihak menyalahkan Kementerian Pertanian dengan alasan adanya kelebihan produksi (penawaran) ayam. Sehingga membuat harga anjlok.
Tuduhan ini jelas salah alamat, karena faktanya harga daging ayam di berbagai pasar tetap tinggi, yang berarti mengindikasikan penyebabnya bukan karena kelebihan produksi (over supply). Keganjilan harga ayam berdasar hukum umum ekonomi yang terjadi pada permintaan dan penawaran produk atau jasa atas perubahan harga ini harus diperiksa dan dintervensi oleh otoritas yang berwenang, yaitu Satuan Tugas (Satgas) Pangan dan Kementerian Perdagangan.
Dalam kasus keganjilan harga ayam ini, jelas yang paling bertanggungjawab sesuai tugas pokok dan fungsinya untuk melakukan intervensi adalah Menteri Perdagangan.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sudah jelas mengatur apa saja fungsi dan tugas semua kementerian di negara. “Kementerian Pertanian, misalnya tugas pokoknya jelas menangani produksi pangan, sedangkan Kementerian Perdagangan mengurus terkait perdagangan dan harga baik di tingkat petani maupun konsumen,” tegas Defiyan.
Pengaturan fungsi dan tugas kementerian diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian dan Perpres Nomor 48 Tahun 2015 tentang Kementerian Perdagangan. “Tugas dan fungsi masing-masing kementerian tersebut sebenarnya sudah jelas dan tegas (clear) dan sudah sinkron, namun ada yang mau melepas atau lempar tanggungjawab ke pihak lain,” tandasnya.
Pihaknya menyayangkan pihak-pihak yang menuding pemerintah dan menyebutkan penurunan harga disebabkan karena pasokan yang berlebih. Menurutnya, kelebihan produksi daging ayam saat ini harusnya ditanggapi dengan positif, sebab dari aspek produksi Kementerian Pertanian telah berhasil menahan lajunya impor atas produk-produk kebutuhan pokok, seperti beras.
Pemerintah telah mampu mendukung peningkatan produksi daging ayam di dalam negeri. Daripada produksi kurang, nanti jatuh-jatuhnya akan impor lagi. Apalagi dalam situasi tertentu pemerintah juga harus menyediakan cadangan paling tidak 10 persen dari konsumsi dalam negeri.
“Tujuannya untuk berjaga-jaga jika terjadi sewaktu-waktu kenaikan harga karena adanya serangan penyakit hewan, bencana alam dan lain-lain yang tak terduga,” tambah Defiyan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Indonesia saat ini sebanyak 268.075 ribu jiwa, konsumsi per kapita 12,13 kg per tahun. Proyeksi produksi daging ayam nasional tahun ini berdasarkan data dari Kementerian Pertanian sebanyak 3.647,81 ribu ton, sedangkan kebutuhan daging ayam nasional tahun ini mencapai 3.251,75 ribu ton, sehingga mengalami surplus sebanyak 396,06 ribu ton.
Untuk mengatasi kelebihan produksi unggas, Defiyan meminta Kementerian Perdagangan untuk terus membuka peluang ekspor unggas maupun produk-produk turunannnya ke berbagai negara. “Nah ini kan harusnya menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan untuk terus mendorong ekspor, melalui atase-atase perdagangannya yang ditugaskan di beberapa negara,” ujarnya.
Lebih lanjut Ia beranggapan bahwa selama ini Kemendag hanya fokus melakukan pengaturan harga acuan di tingkat konsumen. Sedangkan menurutnya, di saat kondisi harga di tingkat peternak di bawah penetapan harga acuan belum ada kebijakan khusus untuk merespon fenomena tersebut.
“Begitu harga di tingkat konsumen naik, pemerintah langsung cepat turun tangan melakukan operasi pasar, atau bahkan jika produksi kurang langung dipenuhi dengan impor. Langkah responsif juga seharusnya diambil ketika harga anjlok di tingkat peternak,” ungkapnya.
Seharusnya Kementerian Perdagangan juga memiliki daftar integrator yang kemungkinan dapat diajak menyelesaikan keganjilan harga ayam ini. “Apakah tidak mungkin selisih ini terjadi disebabkan oleh jaringan distribusi? Ini yang harus diselidiki oleh Kemendag,” katanya lagi.
Berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan disebutkan pada pasal 26 bahwa Kementerian Perdagangan menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor/impor dalam rangka menjamin stabilisasi harga kebutuhan pokok.
“Inilah yang perlu disinergikan untuk memformulasikan kebijakan yang tepat, manakala harga acuan baik di level petani maupun konsumen dibawah atau di atas harga acuan yang ditetapkan. Tentunya dalam hal ini Kementerian Perdagangan mempunyai peran penting terkait informasi dan stabilisasi harga,” tambah Defiyan.
Lebih lanjut, Defiyan Cori mengatakan bahwa daging ayam berdasarkan Perpres Nomor 71 Tahun 2015 merupakan satu diantara jenis bahan pangan pokok yang perlu dijaga ketersediaan dan stabilisasi harganya. Menurutnya, sebagian besar penduduk Indonesia saat ini sudah terbiasa mengkonsumsi daging ayam sebagai salah satu sumber protein hewani setiap hari.
“Sudah semestinya, barang kebutuhan pokok dan barang penting yang telah ditetapkan, termasuk di dalamnya daging ayam menjadi perhatian pemerintah dalam mengatur ketersediaan dan stabilisasi harga,” pungkasnya.
Apabila terjadi permainan harga yang tidak wajar, maka ini juga dapat dikategorikan makar ekonomi. Karena mempersulit kondisi masyarakat. Apalagi menuding Kementerian Pertanian yang telah menjalankan kewenangannya dalam memenuhi produksi jelas tidak tepat dan salah alamat.
https://ift.tt/2FzTgEE
June 28, 2019 at 07:11AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ekonom: Selisih Harga Ayam Peternak dan Pasar tak Wajar"
Post a Comment