REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seperti halnya kaum nasionalis Islam pada 1920-an, A Hassan ingin mewujudkan cita-cita negara Indonesia yang berdasarkan syariat Islam. Visi itu bertolak belakang dengan kalangan nasionalis sekular, semisal Sukarno, yang ingin supaya setelah Indonesia merdeka, agama dijadikan urusan privat atau dipisahkan dari politik.
Antara Hassan dan Sukarno terpaut usia 14 tahun. Walaupun lebih tua, tokoh Persatuan Islam (Persis) itu tidak kemudian kolot dalam memandang persoalan umat dan kebangsaan. Itulah barangkali yang menautkan hati mereka satu sama lain.
Tamar Djaja dalam buku Riwayat Hidup A Hassan (1980) menuturkan, keduanya pertama kali berjumpa di Bandung, tepatnya saat berpapasan di percetakan Drukerij Economy kepunyaan pengusaha etnis Tionghoa. Sukarno waktu itu sedang menunggu Fikiran Rakjat—surat kabar yang menjadi corong propaganda PNI—naik cetak. Sementara, Hassan sedang mengecek cetakan buku-buku karyanya.
Hassan mengobrol akrab dengan Sukarno. Untuk diketahui, dalam setiap forum debat, pria keturunan India itu bak singa podium. Namun, di pergaulan sehari-hari sifatnya ramah--jinak bagaikan domba.
Karakteristik yang sama juga muncul dari Bung Karno, sang pendiri Partai Nasional Indonesia itu. Hassan menerima kesan bahwa Sukarno cerdas, tetapi kurang begitu mendalami Islam. Dia merasa wajar bila pemuda brilian itu mengagumi Mustafa Kemal, seorang nasionalis Turki yang sekular. Pemimpin bergelar Atatürk itu mengabaikan agama yang justru diyakini mayoritas rakyatnya.
Dalam berbagai kesempatan, Sukarno pun tidak jarang menyelipkan pujian terhadap Mustafa Kemal. Pemimpin muda itu menilai, Indonesia perlu meniru langkah Turki pasca-runtuhnya Khilafah, sehingga memisahkan agama dari politik. Tujuannya memodernkan jalannya negara.
Hassan membantah Sukarno karena menganggap figur sentral PNI itu belum mengetahui secara utuh sejarah perkembangan sekularisme di Eropa. Tidak adanya ketentuan atau cara mengatur pemerintahan dalam ajaran Kristen membuat masyarakat Barat memisahkan antara urusan agama dan negara. Bahkan, pada zaman Nabi Isa AS (Yesus) tidak ada negara yang menerapkan hukum agama Kristen. Hal itu berbeda daripada Islam.
Baca juga: A Hassan: Guru Pak Natsir, Kawan Debat Bung Karno (7)
http://bit.ly/2RYYBsw
February 14, 2019 at 07:23PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "A Hassan: Guru Pak Natsir, Kawan Debat Bung Karno (8)"
Post a Comment