Belasan tahun menjadi wartawan, pelajaran pertama dari Redaktur nama orang dan posisi tidak boleh salah. Akurasi. Pelajaran kedua soal informasi yg diperoleh harus tetap di cross check. Benar atau salah baru boleh dituliskan.
Yang ketiga self censorship, apakah berita ini bisa menimbulkan masalah di kemudian hari? Kalau lagi liputan konflik seperti di Ambon tahun 1999 akan dilaporkan apa yang dilihat secara kasat mata atau berita dibuat untuk menyejukkan para pihak yang bertikai?
Kami melahirkan istilah peace journalism setelah konflik di Ambon. Kesetiaan pada profesi membuat wartawan tak akan lupa cara kerjanya. Meski kini era cetak sdh liwat, digerus jaman melalui kecepatan informasi digital.
Tetapi wartawan adalah mata dan telinga rakyat. Keberpihakan pada apa yg sedang menjadi persoalan dalam masyarakat tidaklah boleh hilang. Sekali lagi newsroom atau redaksi tetaplah menjadi mata dan telinga rakyat. Dia harus independen, kritis dan bertanggung jawab.
Redaksi tentu kadang mengalami tekanan, dan permintaan yg kadang harus membuat mereka cooling down dari satu isu. Tetaplah berpegang pada cara kerja jurnalistik. Jaga spirit teman teman, jaga akurasi, sikap kritis dan keberimbangan berita sebagai pilar keempat menjaga demokrasi. Jangan biarkan berita hoax mendominasi negeri ini .
Pengirim: Imelda Sari
#HPN2019
http://bit.ly/2SzYurT
February 09, 2019 at 08:52PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Selamat Hari Pers: Sebuah Pelajaran Menjadi Wartawan"
Post a Comment