
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Rahmat, Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Situasi ini memang tidak normal. Unprecendented. Hari-hari ini, selain jumlah korban yang terjangkit Covid 19, mereka yang terpapar ekonominya juga menjadi makanan berita sehari-hari. Nyawa yang berhubungan dengan paru (Acute Resipatory Sindrome) dan nyawa yang berhubungan dengan perut, secara simultan, menjadi tema pembicaraan kita hari-hari ini.
Subjek tulisan saya kali ini adalah Bank Indonesia. Lembaga lender of last resort yang fungsi vitalnya dalam perekonomian sedang dan perlu dikalibrasi. Dan saya tambahkan lagi, sedang di “overhaul”.
Apa sesungguhnya yang sedang di kalibrasi dan di overhaul itu? Urgensinya dimana? dan Apa yang diharapkan darinya?
Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh berbagai bank sentral di berbagai belahan dunia dalam merespon efek ekonomi dari pandemi Covid-19. Kita akan menemukan model dan bentuk aksinya yang diluar pakem konvensional yang selama ini dianut oleh berbagai Bank Sentral dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
Tradisi dan sejarah kebank-sentralan dapat dilacak sejak pendirian pertamanya ditahun 1668. Swedish Riksbank merupakan bank sentral pertama yang berdiri dan fungsi utamanya adalah meminjamkan uang kepada pemerintah dan sebagai clearing house perdagangan dimasa itu. Tetapi formula yang kemudian menjadi model hingga sekarang adalah Bank of England yang didirikan pada tahun 1694 dengan fungsi yang kurang lebih sama dengan Swedish Riksbank.
Pada masa itu fungsi Bank Sentral terfokus pada pinjaman kepada pemerintah dan clearing house bagi perdagangan. Adalah Banque The France yang dibentuk oleh Napoleon Bonaparte di tahun 1800 yang mulai memperkenalkan fungsi stabilisasi mata uang, setelah hyperinflation melanda Prancis selama masa-masa peperangan.
Evolusi fungsi ini memerlukan waktu lebih dari 130 tahun bersamaan dengan tumbuhnya merkantilisme dan cikal bakal perdagangan global. Yang perlu dicatatkan juga, kalau Swedish Roksbank dan Bank of England pada mulanya adalah joint stock company, alias perusahaan swasta, maka Banque the France merupakan institusi bentukan negara.
Evolusi praktek kebank-sentralan sangat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian, termasuk dan terutama krisis perekonomian yang dialami oleh suatu perekonomian. Sebelum perang dunia ke-1, praktek kebanksentralan mulai bertambah dengan makin kuatnya fungsi lender of last resortnya. Dalam situasi krisis, terutama krisis keuangan, Bank Sentral pada masa itu juga berfungsi sebagai penolong terakhir yang bisa menyediakan likuiditas bagi perekonomian. Jadi, fungsi lender of last resort ini pun juga melekat kedalam tradisi fungsi kebanksentralan sejak dini.
Setelah perang dunia ke-1. Terjadi pergeseran dalam fungsi kebank sentralan dimana fokus fungsinya pun bertambah dengan persoalan level harga, ketenaga-kerjaan dan aktivitas ekonomi riil. Pada Tahun 1920, The Fed mulai memperkenalkan “the riil bill doctrine” bersamaan dengan fungsi barunya dalam menjaga kuantitas uang ( jumlah uang beredar/quantity of money ).
Doktrin ini menganut pemahaman bahwa kuantitas uang secara natural akan tersedia dalam perekonomian sepanjang tidak ada bank yang mengajukan likuidasi diri sendiri (self-liquiditing). Doktrin ini berujung pada persepsi keliru pada boom pasar saham Amerika ditahun 1928, dimana The Fed mengambil langkah pengetatan uang yang berujung jatuhnya harga saham pada tahun 1929 dan memicu depresi perekonomian yang berkepanjangan dimana fungsi lender of last resort The Fed akhirnya terlambat dan tidak lagi efektif. Suplai Uang mengalami kolaps, memicu deflasi dan akhirnya menjadi great depression.
Setelah perang dunia ke-2, fungsi bank sentral kembali bertambah. Pada mulanya kebank-sentralan secara semgaja aktif dalam kebijakan counter cyclical perekonomian. Namun pada tahun 1960an, dimulailah tradisi yang disebut activist stabilization policy. Dimana fokusnya bukan lagi inflasi yang rendah tapi kebijakan yang berdampak pada peningkatan tenaga kerja.
Di Amerika, kebijakan ini menimbulkan masalah berupa tingginya inflasi yang ujungnya merugikan perekonomian Amerika. Paul Volcker yang menjadi Gubernur The Fed ditahun 1978 merubah model aktivisme ini. Pada tahun 1982, kebijakan yang beroeientasi pada target inflasi ini berhasil mengatasi perekonomian Amerika dan sejak itu, model inflation targeting framework menjadi model praktek kebijakan kebank sentralan diberbagai belahan dunia. Alat Kebijakan utama bagi bank sentral dalam menjalankan pendekatan ini adalah Suku Bunga Acuan bank sentral.
Sejak itupula, praktek kebanksentralan dalam perekonomian menjadi lebih berjarak terhadap sektor riil. Sepanjang dekade 90an hingga sekarang, kita kemudian mengenal istilah economic decoupling; suatu istilah yang mengambarkan terbentuknya dinding pembatas antara ekonomi sektor riil dan ekonomi sektor keuangan. Suatu fenomena yang menganggap bahwa kedua bentuk perekonomian ini tidak lagi dalam satu bejana berhubungan, tetapi merupakan dua entitas yang makin tidak terhubung. Atau lebih tepatnya lagi, hubungan diantara nya akan tetap ada tapi makin menipis.
Datanglah krisis Keuangan tahun 2008. Krisis ini dipicu kegagalan dipasar produk turunan (derivatif ) keuangan yang eksotik. Umumnya yang berbasis Collaterized Debt seperti subprime mortgage. Krisis ini direspon oleh bank sentral di banyak negara dengan kebijakan Quantitative Easing alias mencetak duit. Dimulailah era baru dalam praktek kebanksentralan. Nampaknya, banyak bank sentral mengambil pelajaran dari krisis di pasar saham tahun 1928 yang direspon keliru oleh The Fed dimasa itu, yang kemudian berujung pada great depression. Kebetulan sekali, The Fed ditahun 2008 dan sesudahnya dipimpin oleh Ben Bernanke yang memang dikenal sebagai pakar Great Depression dan Market Panic ( Panik di Pasar Keuangan ).
Dari penceritaan ringkas ini, dapat dipahami bahwasanya praktek kebanksentralan tidaklah bersifat kaku. Dan selalu menyesuaikan diri dengan perubahan dan tantangan lingkungan perekonomian.
Di Indonesia, Bank Indonesia selaku Bank Sentral juga memiliki pengalaman sendiri dalam prakteknya. Sebelum Krisis 1997-1998, BI berperan sangat aktif dalam perekonomian riil. Bahkan BI aktif dalam memberikan fasilitas kredit yang kita kenal sebagai KLBI ( Kredit Likuiditas Bank Indonesia ).
Namun dalam prakteknya, KLBI menjadi pengalaman traumatik bagi Bank Indonesia. Kredit ini dikemudian hari ditemukan banyak sekali penyimpangan. Setelah UU No 23 Tahun 1999 Tentang BanK Indonesia, fokus dan fungsi Bank Indonesia di bidang moneter menjadi dibatasi. Pembatasannya antara lain fungsi definitifnya sebagai penjaga nilai tukar, penjaga cadangan devisa dan penjaga inflasi. UU No 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang juga memberi kewenangan kepada BI sebagai otoritas satu-satunya dalam pengaturan dan pengelolaan mata uang Rupiah, termasuk mencetak dan menyalurkannya.
Pembatasan kewenangan BI terhadap pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan dikukuhkan melalui UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Semua tugas dan fungsi BI yang berhubungan dengan perbankan dilimpahkan seluruhnya kepada OJK. Kecuali yang terkait dengan aspek Makro Prudensial perbankan. Kebetulan, saya sendiri terlibat dalam pembahasan kedua UU ini. Dan khusus untuk UU OJK, pada masa itu saya menjadi wakil ketua pansusnya.
Kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini. Apa sesungguhnya yang sedang di kalibrasi dan di overhaul itu? Urgensinya dimana? dan Apa yang diharapkan darinya?
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang baru saja dirilis pemerintah dan sedang menunggu persetujuan DPR RI menambahkan satu kewenangan baru bagi Bank Indonesia. Kewenangan itu berupa dibolehkannya BI untuk membeli obligasi pemerintah di pasar primer. Sebelumnya BI hanya diperbolehkan membeli obligasi dipasar sekunder.
Perbedaannya cukup mendasar. Dengan kewenangan baru ini, BI dapat menjadi pemberi pinjaman bagi pemerintah dalam bentuk sebagai pembeli obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah. Dan bagi pemerintah, dimasa sulit ini, akan sangat membantu manakala mereka memerlukan pinjaman yang tidak mudah diperoleh dipasar hutang normal.
Kewenangan ini menunjukkan kehendak BI untuk mengkalibrasi fungsinya. Dan menjadi pemain yang lebih aktif dalam perekonomian. Dari sisi suplai uang, dengan model semacam ini, pengelolaan terhadap dampak inflasi moneter yang menjadi ancaman tradisional pada setiap upaya meningkatkan kuantitas suplai uang menjadi lebih bisa dikelola.
Secara argumentatif, model Quantitative Easing (QE )yang dipraktekkan oleh banyak bank sentral setelah krisis tahun 2008, rupanya tidak berdampak besar terhadap peningkatan inflasi. Salah satu sebabnya adalah model yang diterapkan di masa itu. Dimana bank sentral membeli obligasi pemerintah di perbankan dan institusi keuangan untuk memperkuat struktur neracanya. Walhasil, perbankan yang menerima itu, mayoritas tidak menyalurkannya kembali kepada sektor riil. Melainkan mempertahankannya demi menjaga struktur neracanya.
Argumen lainnya adalah kelebihan likuiditas dinegara-negara itu, seperti Amerika dan Inggris, dikarenakan kuatnya posisi mata uang mereka dalam perekonomian global, kemudian diekspor kenegara-negara lain yang menyebabkan inflasi didalam negaranya dapat di kendalikan.
Bagi para pengkritiknya, model QE semacam ini, setelah 10 tahun berjalan, dianggap makin memperlebar jurang ketimpangan ekonomi. Dan meninggalkan jejak berupa makin terbatasnya alternatif kebijakan bagi bank sentral dalam mengatasi krisis keuangan.
Karena itu, saya menyarankan agar BI dalam menjalankan kewenangannya; baik yang lama maupun yang baru ditambahkan, juga tidak ragu- ragu dalam mengambil peran yang lebih aktif. Dalam hal ini, tidak ragu dalam menerapkan kebijakan yang pro pada peningkatan angkatan kerja (full employment policy/ activist stabilization policy). Kerangka kerjanya adalah memastikan obligasi yang dibelinya dari pemerintah adalah obligasi yang dihubungkan ( earmark ) dengan upaya penciptaan tenaga kerja.
Saya malah menyarankan lebih jauh, earmark ini dihubungkan juga dengan upaya penerbitan Obligasi untuk sektor UMKM dan ekonomi informal, yang terbukti merupakan sektor pemberi kerja yang signifikan dalam perekonomian. Kerangka ini memastikan bahwa upaya “open ended policy” BI tidak berakhir pada makin melebarnya jurang kaya dan miskin di Indonesia.
Upaya ini tentunya tidak akan membuat praktek kebank-sentralan BI menjadi asing dan tidak “peering” dengan praktek kebank-sentralan di negara lain. Upaya ini tidak akan bersifat unilateral karena pada dasarnya, The Fed sendiri sudah memulai langkah yang mirip. Dalam rilis kebijakan terakhirnya senilai USD 2,3 Trilliun, The Fed memastikan sektor UMKM menjadi bagian integral dalam paket kebijakannya ( CNBC, 09/04/2020 ).
Inilah yang saya maksudkan sebagai upaya kalibrasi “ mindset” BI. Dalam bagian pertama tulisan ini, sengaja saya memaparkan sejarah dan variasi kebijakan dalam praktek kebanksentralan yang terus berkembang dan beradaptasi dengan tantangan perekonomian.
Upaya untuk mengeluarkan bank sentral yang cenderung membatasi dirinya dalam menjalankan fungsinya, terutama yang berbasis pada pengendalian inflasi sudah banyak dikritik. Kerangka Kerja Pengendalian Target Inflasi ( Inflation Targeting Framework) bukannya tidak memberikan dampak positif bagi perekonomian dalam jangka panjang. Tapi yang dianggap sebagai kelemahannya adalah dampaknya dalam menyederhanakan fungsi dan peran Bank Sentral ( Axel Weber, Mantan Gubernur Bank Sentral Jerman, World Economic Forum, 08/06/2015).
Dengan demikian, lahirnya Perpu 1 Tahun 2020 perlu ditafsirkan sebagai perpu yang tidak mengukuhkan praktek “rabun dekat” BI selama ini yang seakan-akan asing dari sektor UMKM dan Ekonomi Informal.
BAB III perpu 1/2020 jika dibaca begitu saja, potensial membuat BI makin “ rabun dekat” terhadap sektor UMKM dan Ekonomi Informal, alias ekonomi rakyat jelata. Jika BI mempertahankan mindset tradisionalnya yang selama ini dipraktekannya, maka materi dalam perpu itu hanya akan bermanfaat bagi korporasi besar, bukan ekonomi rakyat jelata. Sebab, Bab ini hanya membicarakan pemerintah dan perbankan saja.
BI perlu menghembuskan nafas baru dalam penanganan krisis ekonomi di Indonesia. Nafas baru itu berupa kebijakan yang didasari beratnya penderitaan yang menimpa sektor UMKM dan ekonomi informal akibat pandemi Covid 19. BI perlu menafsirkan kewenangannya dalam penangan krisis kali ini sebagai perluasan ruang gerak untuk memastikan keberlangsungan usaha UMKM dan ekonomi informal. Memastikan bahwa sektor ini kembali pulih dengan cepat adalah tanggung jawab besar Bank Indonesia.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip tulisan dua mantan pimpinan The Federal Reserve , Ben Bernanke dan Janet Yellen yang dimuat di financial times “ Central bank tools cannot eliminate the direct costs of the virus, including the suffering and loss it will create. However, ...can help mitigate the economic effects of the outbreak, particularly by assuring that, once the virus’s direct effects are controlled, the economy can rebound quickly” ( Financial Times,18/03/2020). Wallahu ‘alam...
https://ift.tt/3es9oIh
April 19, 2020 at 08:01AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "BI dan Penyelamatan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19"
Post a Comment