REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Anif Punto Utomo
Musibah itu datang tanpa diduga. Tiba-tiba saja mahluk sebesar 0,125 mikron (begitu kecilnya sehingga kita pun susah membayangkannya) memporakporandakan dunia.
Data WHO menunjukkan 202 negara diserang virus Corona jenis Covid19. Corona menyebar ke seluruh secara –meminjam istilah politik-- terstruktur, sistematis, dan masif. Jumlah korban seluruh dunia per 2 April 2020 tercatat 934.245 positif virus dan 46.923 meninggal.
Tak peduli negara besar atau negara kecil, negara kaya atau negara miskin, negara di ujung selatan maupun di ujung utara bumi, semua pontang-panting menghadapinya. Ada yang siap, tapi kebanyakan gagap.
Ada yang lockdown total, ada yang lockdown partial. Lockdown pun ada yang berhasil ada yang gagal. Ribuan triliun rupiah disiapkan untuk perang merawan Corona.
Ekonomi dunia morat-marit. Perang dagang Amerika-China belum selesai, disusul perang harga minyak Rusia lawan Arab Saudi yang menyebabkan harga minyak jatuh hingga separuh. Tapi itu belum seberapa, badai Corona efeknya lebih dahsyat terhadap perekonomian dunia.
Bagaimana tidak? Nyaris semua aktivitas bisnis di seluruh dunia berhenti. Langit biru bersih tanpa polusi menjadi saksi.
Coronanomics. Kreasi istilah yang belakangan muncul untuk menggambarkan situasi ekonomi yang diakibatkan oleh serangan virus Corona.
Singapura, negara termakmur di kawasan Asia Tenggara, sebagaimana dikatakan Perdana Menteri Lee Hsien Loong harus bersiap-siap menghadapi pukulan keras di kuartal mendatang.
Penerbangan ditutup, pariwisata lumpuh, lalulintas perdagangan berhenti, pergerakan bisnis terhenti. Negara yang ditopang dari dari jasa dan pariwisata itu terancam pertumbuhan ekonomi negatif.
Amerika, negara terkaya duniaini ekonominya ancur-ancuran. Bahkan ekonom Goldman Sachs, memproyeksi pertumbuhan ekonomi riil Amerika negatif 9 persen pada kuartal I.
Negara dengan penderita infeksi Corona tertinggi di dunia itu pun terpaksa harus memberikan stimulus sampai 2 triliun dolar (Rp 32.000 triliun) untuk menyelamatkan ekonomi sekaligus menyelamatkan rakyatnya dari kelaparan.
Indonesia menghadapi pukulan serupa. Hampir seluruh sektor bisnis bisnis tumbang, produsen alat pelindung diri jadi pengecualian. UMKM yang pada krisis ekonomi 1998 bisa menjadi bemper, kini hancur lebur.
Menkeu Sri Mulyani sudah bersiap dengan skenario pertumbuhan ekonomi negatif, dolar di Rp 20.000, dan defisit APBN membengkak menjadi 4 persen. Stimulus sebesar Rp 405,1 triliundigelontorkan untuk menyelamatkan ekonomi dan rakyat kelas bawah.
Coronanomics juga memaksa The Economist Intelligence merevisi data pertumbuhan ekonomi dunia negara-negara di G-20 (entah kenapa Amerika tidak dimunculkan).
Tercatat hanya tiga negara yang masih bisa tumbuh positif yakni India (6 persen direvisi menjadi 2,1persen), China (5,9 menjadi 1), dan Indonesia (5,1 menjadi 1). Pertumbuhan negatif tertinggi adalah Itali (-7), Jerman (-6,8), dan Argentina (-6,7).
Tampaknya Coronanomics menjadikan semuanya serba tiba-tiba.Tiba-tiba jalanan New York, London, Jakarta menjadi sepi, tiba-tiba mall tutup, tiba-tiba penerbangan terhenti, tiba-tiba hotel kosong melompong, tiba-tiba harga saham jatuh, tiba-tiba dolar menguat, tiba-tiba jutaan orang menjadi pengangguran, ujung-ujungnya tiba-tiba puluhan juta orang kelaparan.
Melawan Coronanomics pada tataran paling dasar adalah lewat kepedulian sosial. Pedulinomics begitu mungkin istilahnya biar keren, maksudnya bagaimana kepedulian sekaligus dapat menggerakkan ekonomi, meski dalam skala kecil.
Memesan makanan via gofood, kemudian makanannya langsung diberikan ke pengemudi misalnya, atau memberi sembako ke rakyat miskin dimana sembakonya dibeli dari warung-warung kecil di kampung.
Kata orang bijak ‘Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan’. Ayo kita lawan Coronanomics dengan Pedulinomics.
https://ift.tt/2wWGU8o
April 03, 2020 at 10:53AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Coronanomics vs Pedulinomics"
Post a Comment