
Oleh Lukman Hakiem, Peminat Sejarah
Menurut riwayatnya, usul mengenai perlunya lambang negara, pertama kali diajukan oleh Parada Harahap dalam Rapat Besar Panitia Perancang Undang-Undang Dasar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 13 Juli 1945.
Dalam notulen rapat, dapat dibaca catatan sebagai berikut: "Parada Harahap Iin (Anggota Parada Harahap) mengusulkan supaya di sampingnya Bendera juga ditentukan 'Lambang Negara' (wapen). Semua setuju tetapi dalam undang-undang istimewa."
Setelah selesai merumuskan konstitusi, memilih presiden dan wakil presiden, menetapkan wilayah, menetapkan jumlah provinsi, menetapkan lagu kebangsaan dan bendera kebangsaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menindaklanjuti usul Parada Harahap yang sudah disetujui oleh BPUPK, yaitu menetapkan lambang negara.
Sehubungan dengan itu, pemerintah membentuk Panitia Indonesia Raya. Panitia ini diberi tugas untuk meneliti pola dan lambang dalam peradaban Indonesia. PPKI meminta Panitia untuk mengusulkan satu lambang sebagai simbol negara baru, Republik Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara ditunjuk menjadi Ketua Panitia, sedangkan Muhammad Yamin ditunjuk menjadi Sekretaris Panitia. Bersama Ki Hadjar, Yamin menelusuri situs-situs purbakala dan mempelajari kesusastraan kuno di beberapa wilayah Indonesia.
Dari penelusuran, ditemukan sosok burung garuda yang di dalam berbagai mitologi disebut sebagai burung penjaga negara.
Situasi politik dan keamanan, menyebabkan Panitia menghentikan pekerjaannya. Pada 1947, upaya itu bergulir kembali setelah Pemerintah mengundang para seniman untuk mengikuti sayembara pembuatan lambang negara. Ada empat usul lambang yang masuk, yaitu bintang delapan, banteng, sinar matahari, dan burung elang. Agresi Militer Belanda I dan II, kembali menghentikan proses ini.
Sultan Hamid II
Sesudah penyerahan kedaulatan dan Kabinet RIS terbentuk, ikhtiar penemuan lambang negara dilanjutkan. Pada rapat Kabinet RIS, 10 Januari 1950, dibentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara. Kali ini Menteri Negara pada Kabinet RIS, Sultan Hamid II, diberi mandat untuk menuntaskan proses merancang dan memilih lambang negara. Sultan Pontianak itu ditunjuk menjadi Koordinator Panitia. Mengetahui bahwa Yamin pernah menjadi Sekretaris Panitia Indonesia Raya, Sultan Hamid II segera mengontak dan berkonsultasi dengan salah seorang penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu.
Berbekal petunjuk Yamin, Sultan Hamid menghubungi Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta. Semua sketsa burung garuda dari berbagai candi yang dulu dibuat oleh murid Ki Hadjar, Basuki Reksobhowo, diboyong ke Jakarta.
Untuk menjamin kesinambungan dengan pekerjaan yang sudah dilakukan oleh Panitia Indonesia Raya, selaku Koordinator Panitia Lencana Negara, Sultan Hamid II menunjuk Yamin menjadi Ketua Panitia. Anggota Panitia ini ialah Ki Hadjar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka. Panitia bertugas menyeleksi/menilai usulan-usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Setelah bekerja keras, ternyata Panitia gagal menyepakati satu lambang negara.
Di akhir pekerjaannya, Panitia mengajukan dua rancangan utama lambang negara, satu hasil karya Sultan Hamid II, satu lagi ciptaan Muhammad Yamin. Perdana Menteri Hatta membawa dua rancangan itu ke sidang kabinet untuk dipilih salah satu.
Banyak gambar yang masuk waktu itu, tetapi yang terbaik akhirnya ada dua buah; satu dari Muhammad Yamin, satu dari Sultan Hamid. Yang diterima oleh Pemerintah dan DPR adalah rancangan lambang negara yang berasal dari Sultan Hamid II seperti yang ada sekarang ini. Rancangan yang dibuat oleh Yamin ditolak karena di sana ada gambar sinar-sinar matahari dan menampakkan sedikit banyak, disengaja atau tidak, pengaruh Jepang.
Bhinneka Tunggal Ika
Mengenai tercantumnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam lambang negara, Mohammad Hatta menuturkan bahwa gagasan itu berasal dari Bung Karno sesudah Indonesia merdeka. Semboyan itu kemudian diperkuat oleh lambang yang dibuat oleh Sultan Hamid dari Pontianak, dan diresmikan penggunaannya oleh Kabinet RIS pada 11 Februari 1950.
Hatta menegaskan, pegangan bersama yang menjadi tali pengikat keikaan adalah Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesa, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah nilai-nilai dasar yang menyerap ke dalam semua unsur kebhinekaan. “Namun perlu diingat,” kata Hatta, “penyerapan itu hanya bisa dicapai apabila nilai-nilai dasar itu jangan hanya menjadi lips service belaka.”
Hatta mengingatkan, betapa pentingnya Bhinneka Tunggal Ika dihubungkan dengan Pancasila sebagai tali pengikat untuk memperkuat unsur ke-Ika-an dari adanya unsur-unsur kebhinekaan itu, dengan kenyataan bahwa dalam lambang negara kita di mana jelas tergambar Pancasila dengan Ketuhanan terletak di pusatnya, maka satu-satunya tulisan yang dilekatkan jadi satu dengan lambang itu adalah perkataan Bhinneka Tunggal Ika. “Ini hendaklah dicamkan benar-benar,” kata Hatta.
Lambang negara dengan tulisan yang mempunyai arti mendalam itu, menurut Hatta dipadukan menjadi seperti sekarang ini melalui suatu sayembara di masa RIS.
http://bit.ly/2SltziF
February 03, 2019 at 05:07AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Klaim dan Proses Penciptaan Lambang Negara"
Post a Comment