
REPUBLIKA.CO.ID, Pembatasan fisik maupun sosial (physical distancing dan social distancing) menjadi salah satu cara terbaik dalam upaya memutus rantai penyebaran wabah Covid-19.
Dalam situasi saat ini, setiap individu harus dapat menjaga diri dan orang-orang di sekitarnya dengan menjaga jarak terlebih saat berinteraksi. Seperti yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa jarak aman antar satu individu dengan individu lainnya yakni 1 atau 2 meter.
Terkait situasi yang saat ini terjadi, terdapat persoalan fiqih menarik. Yakni bagaimana hukumnya bila istri menolak ajakan suaminya berdekatan atau bahkan berhubungan dengan alasan physical distancing dan social distancing untuk mewaspadai corona? Padahal sebagai seorang istri wajib untuk menaati suaminya selagi tidak dalam kemaksiatan?
Terkait masalah ini, Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat memeberikan penjelasan secara gamblang. Ustaz Sarwat menjelaskan pada dasarnya kewajiban istri adalah melayani kebutuhan seksual suami, bahkan para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi'i mengatakan itulah satu-satunya kewajiban istri kepada suami.
Ustaz Sarwat mengatakan dalam kitab hadits terdapat banyak penjelasan Nabi Muhammad SAW terkait kewajiban seorang istri melayani kebutuhan seksual suaminya.
Diantaranya yakni hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang menjelaskan bila seorang wanita melewati malamnya dengan menolak tidur dengan suaminya, maka malaikat melaknatnya sampai Subuh. Selain itu terdapat juga hadits yang berbunyi bila suami mengajak istrinya berjima' tetapi istrinya menolak untuk melakukannya, maka malaikat melaknatnya hingga Subuh.
Namun demikin, menurut ustaz Sarwat perlu diketahui bahwa kewajiban ini juga bukan hanya semata kewajiban istri, tetapi suami pun juga punya kewajiban yang sama. Sebagaimana keterangan hadits riwayat Bukhari yang menerangkan bahwa istri mempunyai hak terdapat suami. Juga sebagaimana dapat dipelajari dari perintah Rasulullah kepada Abu ad Darda untuk menggauli istrinya.
"Puasalah tapi juga berbukalah. Lakukan shalat malam tapi juga tidur. Dan datangilah istrimu."(HR. Ad-Daruquthuny). Bahkan ustaz Sarwat menjelaskan untuk melakukan 'azl (menumpahkan sperma di luar kemaluan istri) pun dilarang kecuali dengan izin istri. Ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al Baihaqi, Rasulullah melarang melakukan ‘azl atas istri yang merdeka, kecuali atas izinnya.
Namun ustaz Sarwat juga menjelaskan hukum dapat berubah seperti dari wajib berubah menjadi haram. Ia menjelaskan, sesuai karakteristik syariat Islam, hukum-hukumnya sangat dinamis, sesuai dengan 'illatnya. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah hukum itu akan berubah sesuai dengan 'illatnya, ada atau tidak adanya. Maka menurut ustaz Sarwat suatu kewajiban bisa saja kemudian berubah menjadi keharaman, atau sebaliknya. Semua dikaitkan dengan 'illat yang berlaku pada tiap kasusnya. Sebab itu kewajiban istri melayani suami dapat menjadi haram apabila ada illat yang membuatnya menjadi haram.
"Dalam kasus yang ditanyakan, kewajiban melayani suami untuk melakukan hubungan seksual berubah menjadi keharaman, karena ada 'illat yang membuatnya menjadi haram. Keharamannya adalah apabila dikhawatirkan terjadi madharat, yaitu istri yang sakit berbahaya dan menularkan penyakitnya itu kepada suaminya. Atau juga berlaku sebaliknya. Misalnya istri atau suami mengidap penyakit yang berbahaya. Kalau sampai berhubungan badan dengan pasangannya, khawatir pasangannya itu akan tertular penyakit yang berbahaya itu," tutur ustaz Sarwat kepada Republika.
"Dalam hal ini istri atau suami itu justru berdosa kalau sengaja melakukan hubungan badan, apalagi dia tidak mengaku telah mengidap suatu penyakit. Dan pasangannya tidak tahu kalau dirinya beresiko menularkan penyakit yang berbahaya. Maka kesalahannya jadi berlipat," tambah dia.
Menurut ustaz Sarwat kasus penolakan istri terhadap ajakan suami seperti di atas perlu dilihat secara lengkap. Menurutnya bila ada dua dalil yang saling bertabrakan, maka salah satunya lebih diutamakan. Dalam hal ini, kewajiban melayani suami dengan melakukan hubungan badan jadi gugur karena adanya madharat yang lebih besar, yaitu resiko menularkan penyakit.
Ustaz Sarwat menjelaskan terdapat kaidah yang sering digunakan oleh para ulama, misalnya menolak mafsadat lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan, segala yang merusak itu dihilangkan serta kaidah tidak boleh memberi madharat atau menerima madharat.
Ustaz Sarwat memberikan catatan bahwa keharaman berhubungan badan antara suami istri hanya berlaku bila kekhawatiran itu berasalan kuat, dengan dasar kepastian dari dokter bahwa suami istri bisa saling menulari.
"Namun manakala hanya berdasarkan asumsi saja, wajib atas keduanya untuk meminta kepastian dari pihak dokter. Sebab masalah semacam ini sangat peka, kalau pendekatannya kurang baik, bisa membuat rumah tangga jadi pecah. Karena itu sebaiknya berpikir hati-hati, diskusikan dengan pasangan, dan tidak termakan gosip, hoaks atau pun sekedar latah ikut-ikutan informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya," kata dia.
https://ift.tt/3bjzuLm
April 17, 2020 at 07:04AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Physical Distancing', Bolehkah Istri Menolak Berhubungan?"
Post a Comment